Selasa, 25 Maret 2008

I Lost My First Camera

Jakarta sudah banyak memberiku pelajaran. Dalam beberapa waktu ini, tiba-tiba aku ingin menjadi seorang fotografer. Aku membeli camera pertamaku. Bukan kamera profesional, hanya camera digital. Tapi camera ini bisa aku gunakan untuk mulai belajar fotografer karena ada setting manual di dalamnya. Namun di sore, di dalam biskota yang sangat lengang tidak seperti biasanya. Tas ranselku menjadi sedikit terbuka, begitu suamiku menyadari tasku terbuka dia segera menutupnya tanpa menyadari cameraku telah hilang. Kami mengetahuinya setelah tiba di kost.

Aku menangis lama, sedih. rasanya seperti kehilangan hal yang dicintai. begitu merana. Pyan suamiku juga. tapi tidak lama berselang, ia memelukku dan berkata kepadaku. Inilah kata-kata yang bisa menyembuhkan sakitku dan mungkin juga menjadi penyembuh bagi orang-orang yang kehilangan apapun yang dicintainya.

Jangan sedih. Ingatlah bahwa kita hanya kehilangan sebuah camera. camera itu bisa dibeli. Bayangkanlah, begitu banyak orang yang kehilangan sesuatu, seseorang, yang tidak dibeli dengan apapun. Kita hanya kehilangan yang kita miliki. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang tidak kita miliki. Orang yang hanya punya uang seratus ribu rupiah tidak akan kehilangan sejuta rupiah. Banyak orang yang kehilangan sesuatu yang tidak bisa dibeli. Kita masih beruntung. Kesedihanku mulai hilang, padahal tadinya aku menangis hampir satu jam.

Aku jadi tersadar, bahwa aku hanya kehilangan sebuah camera. Sebuah barang fungsional biasa yang bisa dibeli lagi. Kesedihan membuatku lupa, hakikat sebuah camera. Suamiku berkata, semoga camera kita membawa manfaat positif bagi yang telah mengambilnya. Semoga ini, dia mencopet untuk terakhir kalinya. Aku setuju. Padahal, dalam marah tadi, aku berdoa untuk kesialan pendopet itu selama hidupnya. Aku menyesal. Semoga doaku yang pertama tidak dikabulkan Tuhan.

Tidak ada komentar: