Selasa, 29 April 2008

Mataku

Banyak hal yang diberi Tuhan pada manusia, di antaranya adalah indera. Manusia telah menggunakan kemampuan inderanya sejak lahir. Dan ini kadang-kadang membuat manusia menjadi terbiasa dengan seluruh nikmat itu. Kita diberi kemampuan melihat, mendengar, merasakan, berbicara, dan berpikir. Namun, karena telah terbiasa dengan segala karunia itu, kita menjadi terbiasa memilikinya tanpa bersyukur. Bisa mendengar, tidak lagi menjadi hal yang luar biasa, karena banyak orang memiliki telinga untuk mendengar. Begitu pula dengan kemampuan mencium bau dan mengecap sesuatu. Semua itu menjadi biasa saja. Jika ada orang yang sangat membanggakan kamera canggihnya, maka pastinya ia lebih bangga lagi pada matanya. Karena mata adalah organ yang jauh lebih rumit daripada kamera tercanggih sekalipun.


Untuk melihat benda, mata memiliki jutaan sel pendukung. Dan untuk mengirimkannya kepada otak agar kita menyadari penglihatan kita, dibutuhkan lebih banyak lagi sel-sel saraf. Pada retina terdapat sekitar 1.600.000 serabut saraf yang membawa informasi ke otak. Di depan dan belakang lensa mata, terdapat dua rongga yang berisi cairan bening. Rongga di depannya berisi cairan kental bening seperti air dan rongga di belakangnya berisi cairan kental agak keruh seperti putih telur. Titik-titik yang tampak mengapung di medan penglihatan setelah memandang sinar terang adalah sel-sel yang tersisa sewaktu berlangsung proses pembentukan mata. Sel-sel ini akan tetap mengapung dalam cairan rongga itu seumur hidup. Cairan bening yang mengisi rongga depan mata berganti baru setiap jam. Tidak hanya itu, pada kelopak mata terdapat kelenjar air mata atau kelenjar lakrimalis yang mengeluarkan air mata untuk menyiram permukaan luar mata secara teratur. Air mata ini mengandung lisosim, suatu zat pembunuh kuman. Untuk itu mata akan berkedip 6-10 kali per menit dalam keadaan normal dan lebih sering sewaktu mata letih.

Dengan semua kerumitan itu, amat disayangkan jika akhirnya melihat tidak lagi menjadi hal yang istimewa hanya karena hampir setiap orang memiliki mata yang bisa melihat. Walaupun melihat bukanlah kemampuan yang langka, tapi tidak satu pun manusia yang siap diambil kemampuan penglihatannya, pendengarannya dan indera lainnya. Ini menunjukkan betapa berartinya indera bagi kita. Amat disayangkan jika manusia lupa mensyukurinya.

Banyak dongeng-dongeng menarik tentang pentingnya panca indera. Banyak idiom-idiom di negeri ini menggunakan salah satu alat indera.Namun kata ‘mata’ lah yang paling banyak digunakan. Mata hati, mata air, mata uang, saksi mata, buta mata, mata rantai, mata kuliah, mata-mata, matahari dan banyak lagi kata ‘mata’ digunakan untuk menyebut istilah yang memiliki arti penting. Ini menunjukkan fungsi dominan mata dalam seluruh aspek kehidupan manusia.

Sebuah penelitian di Turki mengatakan, kegiatan belajar mengajar yang lebih banyak menggunakan fungsi mata (visual), terbukti lebih baik daripada belajar dengan menggunakan pendengaran atau media auditori.
Marilah kita pikirkan, manakah yang lebih berharga, wujud mata ataukah fungsi mata? Ini adalah sebuah pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban yang bijak. Yaitu jawaban dari hasil proses berpikir. Tentunya, tak satu pun orang yang mau memiliki mata yang buta, tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi, apakah kita memang benar-benar lebih memelihara fungsi mata daripada wujud mata? Bisa jadi harga eye shadow Anda lebih mahal dari harga pemeliharaan mata Anda. Jika demikian, tanpa disadari, itu artinya wujud mata lebih penting dari fungsinya.

Mata yang sehat pastinya berfungsi dengan baik. Memelihara kesehatan mata adalah titik awal rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah memberi mata untuk melihat. Karena melihat adalah langkah awal dari sejuta langkah berikutnya. Berkarya, berkreatifitas dan banyak karsa bisa kita lakukan bagi kehidupan ini. Dan ini menjadi ungkapan terimakasih terindah yang bisa kita lakukan. Dan bagi saya, penghargaan pada apa yang telah diberi Tuhan, berupa penglihatan ini, menjadi landasan berpijak seumur hidup saya. Mata telah memberi pelajaran yang amat berharga bagi hidup saya. Dan Tuhan telah memberi pelajaran ini dengan caraNya sendiri dan pada waktu yang tak diduga.

Suatu malam di bulan Februari 2004, di perempatan jalan yang tidak begitu ramai, saya menyeberangi jalan. Waktu itu lampu pengatur lalu lintas masih menyala merah. Artinya, penyeberang jalan bisa dengan aman menyeberang jalan. Namun ternyata tidak, sebuah mobil dari ruas jalan lainnya mendahului mobil di depannya dan melaju kencang ke arah jalan tempat saya menyeberang. Dan, brakk...mobil itu menabrak tubuh saya dengan amat keras, membuat saya terlempar jauh dari sisi jalan raya. Tidak sadarkan diri. Orang-orang berkerumun berusaha menyelamatkan nyawa saya, mereka membawa saya ke rumah sakit terdekat. Pihak kepolisian setempat menghubungi keluarga saya di luar kota berdasarkan nomor telepon yang tertera di telepon selular saya.

Sejak kejadian itu saya mengalami koma selama sepuluh hari. Suami dan seluruh keluarga saya menunggu dengan cemas. Saya dan suami baru saja menikah tiga bulan. Seminggu setelah menikah, dia pergi melanjutkan tugasnya di seberang pulau. Saat itu sudah dua bulan saya tidak berjumpa dengannya. Saat saya koma adalah pertemuan pertama kami setelah akad nikah.Setelah sadar, itulah puncak terkabulnya doa suami dan seluruh keluarga kami. Namun ternyata bukan puncak pengabulan doa bagi saya. Saya mengalami amnesia ketika sadar namun akhirnya berangsur-angsur pulih. Beberapa bulan setelah sadar, dokter mengatakan ada masalah pada pembuluh darah di kepala saya dan mengatakan agar sebaiknya saya dioperasi. Kemungkinan besar, pembuluh darah itu berkaitan dengan sel-sel saraf penglihatan. Dokter mengatakan, sebenarnya, proses penglihatan terjadi di otak, walaupun kita melihat dengan mata. Itu sebabnya benturan keras yang dialami kepala dapat merusak pusat penglihatan di otak. Dengan atau operasi, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi, saya menjadi lumpuh, buta, atau sehat seperti sedia kala. Tapi tindakan mengoperasi tentunya lebih baik daripada menunggu kemungkinan buruk terjadi.

Saya mengalami takut luar biasa. Saya berdoa pada Tuhan. Saat itu, saya bersaksi di hadapanNya bahwa ini adalah doa pamungkas dan terbesar selama hidup saya. Saya berjanji tidak akan pernah meminta apapun asalkan Tuhan mengabulkan doa yang ini. Saya berjanji akan selalu memberi tanpa pernah meminta asalkan saya tidak menjadi buta. Saya tidak ingin menjadi buta. Saya tidak bisa menjadi buta. Saya sangat kagum pada orang yang tidak dapat melihat namun bisa menjalani hidupnya dengan mental yang baik. Padahal ia telah kehilangan sesuatu yang amat berharga, menurut saya. Saat itu saya berkata padaNya, lebih baik ia mengambil nyawa saya daripada penglihatan saya. Selama hidup saya, ini adalah momen penghargaan terbesar saya pada mata. Sebuah karunia terindah yang Tuhan ciptakan.

Akhirnya kami putuskan untuk pergi ke Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Setelah dokter melakukan MRI (magnetic resonanse imaging) pada kepala, dokter mengatakan tidak ada masalah serius pada susunan pembuluh darah di kepala saya yang perlu ditakuti. Keganjilan yang nampak sebelumnya, ternyata hanyalah pola susunan urat saraf yang sedikit berbeda dari umumnya. Dan tidak ada genangan darah dalam kepala saya, seperti kata dokter pada diagnosa sebelumnya. Semua prediksi itu musnah, begitu pula himpitan di dada saya. Tidak ada kata yang bisa diucapkan, selain syukur pada Tuhan yang Maha pemurah.

Pengalaman itu selalu menjadi cermin pengingat saya. Setiap saat saya menghadapi masalah dan kesulitan, pengalaman itu mengajarkan sesuatu hal pada saya. Jangan mengeluh. Saya telah diberi karunia terindah oleh Tuhan. Saya masih bisa melihat, mendengar dan berjalan dengan baik. Itu adalah modal untuk menghadapi semua masalah dan kesulitan yang saya hadapi.

Saya pernah berjanji untuk tidak meminta lagi ketika berdoa padaNya. Janji ini menjadi sebuah pernyataan untuk tidak mengandalkan sesuatu di luar diri saya. Janji ini juga yang membiasakan saya untuk percaya diri. Janji ini memaksa saya untuk tidak mudah mengeluh. Dengan berbuat, saya mewujudkan keinginan saya. Dan tetesan keringat, langkah kaki dan gores kernyit di dahi saya adalah bukti caranya. Saya harus berusaha menggunakan kemampuan saya dan tidak mengandalkan orang lain maupun meminta pada Tuhan tanpa berusaha.

Dalam proses berusaha yang dilandasi prinsip mengandalkan diri sendiri, muncul rasa percaya diri dalam diri saya. Rasa percaya diri untuk melihat sekeliling kita dengan seksama dan mencari solusi dari setiap masalah yang kita temui.

Janji untuk tidak meminta apapun lagi pada Tuhan janganlah dimaknai sebagai sebuah kesombongan. Janji ini tidak keluar dari rasa sombong. Berdoa meminta padanya bukanlah sebuah dosa. Karena secara naluriah, kita hanya bisa berharap pada yang Maha Kuasa atas segalanya. Tapi bagi saya, itu menjadi dosa. Karena artinya saya telah melanggar janji. Pernyataan “tidak akan meminta lagi” (bagi saya) bermakna bahwa tidak pantas lagi saya meminta padaNya jika Tuhan telah mengabulkan permintaan saya untuk tidak menjadi buta. Karena itulah permintaan terbesar saya.

Jika saya analogikan, ada seseorang yang meminta bantuan untuk dipinjami hutang kepada seorang saudagar. Si peminjam mengalami situasi yang sangat mendesak dan sangat membutuhkan uang itu. Orang itu memohon sambil berucap dia tidak akan meminjam uang lagi jika saudagar itu mau mengabulkan permintaannya yang ini. Inilah permintaan pamungkas si peminjam.

Sekarang, apakah pernyataan si peminjam itu mencerminkan sebuah kesombongan? Bukan. Persaksian tidak akan meminjam lagi itu adalah sebuah bentuk pernyataan yang wajar untuk menggambarkan besarnya keinginan si peminjam itu untuk mendapatkan uang pinjaman.

Berjanji untuk tidak meminta apapun lagi, tidak sama dengan tidak menginginkan apapun lagi. Manusia selalu memiliki keinginan dalam hidupnya. Saat Anda menginginkan sesuatu hal, apa yang Anda lakukan? Berusaha mewujudkannya? Atau Anda pasrah menyerahkannya pada Tuhan agar mewujudkan keinginan Anda? Atau Anda melakukan keduanya?

Misalnya Anda menggunakan cara pertama yaitu berusaha mewujudkan keinginan Anda dengan keringat Anda sendiri. Ada dua kemungkinan, Anda berhasil mewujudkannya atau Anda tidak berhasil. Jika berhasil, mungkin Anda merasa puas pada hasil kerja Anda. Jika tidak berhasil, mungkin Anda akan merasa kecewa karena Anda telah berusaha semaksimal mungkin.

Jika Anda menggunakan cara kedua, yaitu hanya berdoa saja, meminta Tuhan mengabulkan keinginan Anda. Jika berhasil, mungkin Anda akan merasa Tuhan mengabulkan doa Anda, Anda merasa Tuhan masih menyayangi Anda. Jika tidak berhasil, mungkin Anda akan merasa Tuhan tidak mau mengabulkan doa Anda. Anda merasa Tuhan tidak menyayangi Anda. Dan mungkin ratusan perasaan buruk sangka akan Anda layangkan pada diri Anda dan juga padaNya.

Pada cara yang ketiga, yaitu Anda berusaha mewujudkan keinginan Anda sambil berdoa padaNya. Jika berhasil, mungkin Anda merasa puas dengan hasil kerja Anda dan merasa Tuhan mengabulkan doa Anda. Tapi ketika ternyata keinginan Anda tidak berhasil terwujud, mungkin Anda akan bertanya-tanya apakah usaha Anda telah maksimal? Atau Tuhan belum mau mengabulkan doa Anda? Bahkan mungkin saja Anda bertanya-tanya mengapa Tuhan tega sekali tidak mengabulkan doa Anda.

Ada yang berpendapat, cara ketiga adalah yang paling ideal. Berusaha dan berdoa. Tapi ternyata, pada cara kedua dan ketiga, Anda akan sama-sama memiliki prasangka pada Tuhan. Entah itu prasangka positif atau prasangka negatif, tergantung pada cara Anda memandang masalah dan bukan pada tingkat keberhasilan Anda. Kita memang tidak bisa mengendalikan semuanya sesuai keinginan. Karena keinginan kita, ikhtiar kita bahkan mungkin doa kita dibatasi oleh keinginan, ikhtiar dan doa orang lain.
Sejak saya mendapat pelajaran berharga itu, saya berpandangan tidak ada doa yang tidak dikabulkan Tuhan, apalagi doa dalam kebaikan. Tapi yang perlu diingat, kita tidak hidup seorang diri di bumi ini. Doa dan usaha kita dibatasi oleh gerak hidup seluruh manusia di bumi ini. Keinginan dan kebebasan kita dibatasi oleh keinginan dan kebebasan orang lain.

Cara memandang ini mendorong saya untuk selalu berkarya. Sebuah karya yang bisa menjadi solusi masalah saya, membantu menyelesaikan masalah orang-orang terdekat saya maupun orang lainnya. Saya tidak akan menganggap remeh sebuah masalah sekecil apapun. Karena anggapan remeh itu bisa membuat kita enggan mencari solusinya. Menyingkirkan kaleng kemasan minuman di tengah jalan mungkin adalah sebuah solusi masalah kecil. Namun masalah kecil ini ternyata hanya salah satu ranting dari sebuah pohon masalah besar. Jika kita tidak bisa mencabut pohon besar masalah itu, menyelesaikan rantingnya saja bukanlah hal yang sia-sia. Pepatah Cina mengatakan, perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah pertama.

Dalam keseharian, tidak selamanya pandangan hidup yang kita pegang melandasi seluruh tingkah laku kita. Ada saat-saat di mana perbuatan yang kita lakukan, perkataan dan pemikiran kita tidak sesuai dengan prinsip hidup kita. Saya menyebutnya sebagai waktu sekunder. Waktu sekunder yaitu waktu di mana kita berpolah tingkah laku sekedarnya, tanpa kendali. Pandangan hidup kita adalah kendali tingkah laku kita. Jika sebagian besar waktu kita diisi perbuatan yang di luar kendali, hanya berdasarkan keinginan, naluriah (insting) dan tidak mencerminkan pandangan hidup kita, maka itu artinya kita hanya memiliki waktu primer yang amat pendek. Padahal hasil terbaik dalam hidup ini adalah hasil yang dicapai oleh perbuatan baik yang dilandasi pandangan hidup yang benar. Hasil terbaik lahir di waktu primer kita.

Setiap kali saya berada dalam waktu sekunder, ingatan akan janji itu menjadi tali kendali untuk kembali pada waktu primer. Tali kendali ini meredakan id dalam diri saya. Saya yakin, semua perbuatan kita harus disadari secara penuh oleh akal pikiran.Apa yang mesti dilakukan ketika seseorang diberi hadiah terindah? Tentunya hadiah itu akan selalu dijaga dan digunakan sebaik mungkin. Semoga saja, dengan sepenggal cerita ini, kita bisa menuai hikmah. Mata penglihatan adalah sebuah karunia besar dari Tuhan. Menjaga kesehatan mata adalah terimakasih awal sebelum pada bentuk terimakasih selanjutnya. Hanya mata sehat yang bisa memberikan fungsi terbaik. Namun, hanya dengan menjaga kesehatan mata saja ternyata tidaklah cukup. Mempersembahkan seluruh hidup kita untukNya mungkin lebih layak untuk membalas kebaikanNya. Bagaimana caranya? Dengan menjalani kehidupan sesuai aturanNya. Yaitu menjadi bermanfaat bagi manusia lainnya.

Cobalah membayangkan. Jika dengan menjaga kesehatan mata saja belumlah cukup. Apalagi jika kita sama sekali tidak menjaga kesehatan mata penglihatan kita. Itu artinya, kita belum melakukan apapun untuk membalas karuniaNya. Menjaga mata adalah hal paling dasar yang wajib kita lakukan jika kita masih bersyukur untuk pemberian yang satu ini. Sama halnya jika kita bersyukur karena telah dikaruniai anak. Tentunya anak itu akan kita jaga dengan baik.

Butuh waktu bagi saya untuk memaknai janji saya ini secara benar. Pernah suatu ketika saya menghadapi suatu masalah, terbesit dalam pikiran bahwa saya merasa menyesal mengapa saya pernah berjanji pada Tuhan untuk tidak meminta lagi. Saya merasa telah membuat janji secara membabi buta. Tidak mungkin saya tidak meminta lagi padaNya. Apakah saya harus meminta pada selain Dia? Astaghfirullah.
Itulah inti dari makna janji saya. Kepada Tuhan saja, saya tidak boleh merengek meminta-minta lagi, apalagi kepada selain Dia. Akhirnya sedikit demi sedikit saya menemui pencerahan dalam pikiran saya. Saya percaya, Tuhan tidak melihat apakah kita berhasil menyelesaikan suatu masalah atau tidak, tapi Dia melihat, bagaimana kita melalui masalah yang kita hadapi, bagaimana cara kita menyelesaikannya. Saya yakin Dia tidak hanya mau melihat hasilnya tapi Dia pun sangat peduli pada proses meraihnya.

Pernahkah Anda mendengar bahwa semuanya berawal dari pandangan? Kata “pandangan” baik diartikan secara denotatif maupun konotatif, keduanya sama-sama membutuhkan objek di luar diri kita. pandangan adalah hasil perbuatan memandang, melihat. Dalam arti konotatif, pandangan berarti pendapat atau menurut. Kita membutuhkan keberadaan gunung jika ingin melihat gunung. Harus ada payung, jika kita ingin melihat payung. Bahkan untuk melihat diri sendiripun, kita membutuhkan pantulan cermin yang adalah objek di luar diri kita. Dalam arti konotatif, kata ‘pandangan’ pun memerlukan objek penyerta. Menurut Si A, penampilan Si B itu buruk. Artinya, untuk mengeluarkan pandangan tentang Si B, Si A perlu adanya Si B. Pandangan dalam arti konotatifnya, juga membutuhkan objek di luar diri.

Harus ada pandangan atau paham demokrasi jika kita ingin mengetahui demokrasi. Harus ada pandangan nasionalisme jika kita ingin memahami nasionalisme. Darimanakah seluruh pandangan tersebut berasal? Bisa dari orang lain di sekitar kita, di tempat lain atau pendahulu sebelum kita. Kita pun mampu memiliki pandangan atau pemahaman dari hasil proses berpikir sendiri. Rene Descartes, seorang filosof dan matematikawan besar dunia, mengatakan Cogito Ergo Sum. Artinya, saya berpikir, maka ada. Manusia dinyatakan ada, eksis, karena manusia berpikir. Dalam hidupnya, Descartes selalu meragukan segala sesuatu. Ia meragukan keberadaan pasti adanya tumbuhan, hewan dan manusia. Bahkan keberadaan dirinya pun ia sangsikan. Karenanya ia selalu berpikir dan meneliti. Baginya, berpikir adalah bentuk eksistensi, keberadaan manusia. Namun lagi-lagi, dalam berpikir pun, kita tetap membutuhkan objek di luar diri kita. Yaitu lingkungan sebagai ekosistem tempat kita tumbuh dan melahirkan semua ide-ide pemahaman itu.

Tidak mengandalkan sesuatu di luar diri kita tidaklah sama dengan tidak berhubungan dengan orang lain. Manusia bisa berkembang biak menjadi banyak, untuk bisa saling menolong. Tidak ada yang bisa hidup sendiri. Namun dengan semua pertolongan itu, pertolongan dari diri sendirilah yang menentukan langkah kita. Saya yakin, Tuhan hanya membantu umat yang mau menolong dirinya sendiri. Dan yang terpenting, bagi saya, ternyata keyakinan itu muncul dari mata.

Tidak ada komentar: